HomePengambil KebijakanManajer Lembaga Kesehatan

Diseminasi Hasil Penelitian “Tanggung Jawab Hukum Pemerintah Pusat & Daerah dalam Penanganan Lojakan (Surge) Pasien Covid-19”

Diseminasi Hasil Penelitian “Tanggung Jawab Hukum Pemerintah Pusat & Daerah dalam Penanganan Lojakan (Surge) Pasien Covid-19”

Relasi pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan kebijakan untuk mengatasi pandemi sangat dinamis dan menimbulkan berbagai konsekuensi hukum. Oleh karena itu, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan  Keperawatan (PKMK FK – KMK UGM) pada Kamis, 16 Juli 2020 pukul 10.00 – 12.00 WIB menggelar webinar surge capacity dengan topik “Tanggung Jawab Hukum Pemerintah Pusat & Daerah dalam Penanganan Lojakan (Surge) Pasien Covid-19”. Webinar ini bertujuan untuk memaparkan hasil sementara penelitian oleh Tim Peneliti PKMK FK – KMK UGM  untuk menganlisa tanggung jawab hukum dalam kebijakan pemerintah selama pandemi. Penelitian tersebut dilatarbelakangi oleh munculnya pandemi COVID-19 yang muncul sejak Bulan Maret di Indonesia sehingga pemerintah menerbitkan berbagai regulasi sebagai upaya dalam menyiasati pandemi. Adapun narasumber webinar kali ini Dr. Rimawati, SH., M.Hum yang merupakan salah satu dosen di Fakultas Hukum UGM dan moderator webinar adalah Ilham Maulana AS.

Pada sesi pertama, Rimawati menjelaskan gambaran umum penelitian sekaligus latar belakangnya. Pembagian kewenangan dibedakan antara urusan wajib, pilihan dan konkuren. Urusan kesehatan merupakan salahsatu urusan wajib dari pemerintah pusat dan daerah. Format desentralisasi menjadi pilihan pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19 meskipun kemampuan dan keterbatasan fasilitas kesehatan yang berbeda tiap daerah. Hal tersebut berbeda dengan penanggulangan bencana yang selama ini dikelola oleh BNPB dengan menerapkan sistem komando. Lemahnya tata kelola tersebut menyebabkan kondisi pandemi semakin sulit untuk dikendalikan.

Pembahasan berikutnya yakni melakukan analisis secara normatif yang dilakukan dengan mengidentifikasi muatan dan kewenangan antara pusat dan daerah. Regulasi yang dianalisis dari aturan secara umum  (lex generalis) yaitu UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah, UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Aturan secara khusus (lex specialis) ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kesehatan No. 1501/Menkes/Per/X/2010 dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 82 tahun 2014. Peraturan lain yang menjadi dasar hukum bagi terbitnya peraturan perundang – undangan maupun kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat selama darurat wabah COVID-19 yaitu UU Nomor  6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Fakta yang terjadi dari penerapan kebijakan oleh pemerintah menunjukkan kegagapan pemerintah dalam menyiasati wabah. Regulasi dan kebijakan yang terbit selama pandemi hingga saat ini masih banyak ditemukan tumpang tindih (overlapping). Pemerintah pusat juga dianggap memonopoli informasi sehingga seolah enggan melakukan evaluasi terhadap dampak yang muncul di masyarakat.

Peraturan kebijakan yang terbit hingga saat ini tercatat sebanyak 110 produk hukum yang dilahirkan untuk merespon COVID-19 dengan tujuan untuk penanggulangan atau penanganan wabah. Provinsi DIY telah menerbitkan 27 regulasi dalam bentuk regeling maupun beschikking. Analisis sementara oleh tim peneliti menukan bahwa pemerintah pusat dan daerah terjadi kebingungan dalam melakukan identifikasi aturan. Oleh karena itu, sistem komando BNPB kurang berfungsi maksimal dan gugus tugas hanya memperpanjang birokrasi semata.

Metode yang digunakan dalam analisis yakni mengadopsi pemikiran Lawrence Friedman yang melihat bahwa suatu sistem dipengaruhi oleh 3 subsistem yakni struktur, substansi, dan kultur. Struktur yakni pihak atau aktor pembuat kebijakan dalam hal ini BNPB, pemerintah pusat, dsb. Analisis mengenai susbtansi terhadap landaasan yuridis menghasilkan interpretasi yang berbeda. Sehingga akibatnya adalah kebijakan tidak bisa maksimal karena tidak ada kepastian hukum. Subsistem legal culture menunjukkan implementasi di tataran lapangan tidak berjalan karena multiinterpretasi.

Sesi Pembahasan oleh Pembahas

(Dr. Zainal Arifin Mochtar, SH., LLM.)

Dr. Zainal Arifin Mochtar, SH., LLM. menanggapi bahwa secara umum penelitian tersebut sudah cukup baik dan riset yang dilakukan cukup mendalam meskipun memiliki keterbatasan dalam metode. Melihat relasi kebijakan antara Pemerintah Pusat dan Daerah terdapat catatan mengenai beberapa permasalahan yang berkaitan yaitu konsepsi konstitusional mengenai landasan hukum yang dapat digunakan dalam penanganan COVID-19. Undang – Undang Dasar telah mengatur dalam pasal 12 dan 20 yang kemudian menjadi dasar untuk menerbitkan PERPPU. Namun, problematika yang muncul adalah interpretasi terhadap keadaan bahaya yang berbeda – beda dan peraturan terdahulu yang sudah terbit terlalu lama sehingga tidak sesuai dengan konsep ketatanegaraan saat ini.

Zainal berpendapat bahwa pemerintah pusat seharusnya menerbitkan 2 PERPPU yakni yang berkaitan dengan konsep keadaan bahaya dan penanganan  pandemi COVID-19 secara menyeluruh. Hal ini diperlukan supaya konsep peraturan yang sudah terlalu lama dapat dirapikan kembali sekaligus dapat menjadi payung bagi peraturan teknis yang lain. Hal tersebut menjadi penting karena rentan timbulnya  pelanggaran terhadap hak asasi dengan beberapa pembatasan maupun upaya pemaksaan yang dilakukan oleh pemerintah dalam usaha untuk mengendalikan pandemi. Sentralisasi terhadap kewenangan pusat juga dapat dimaklumi sering terjadi dalam konteks hukum tata negara darurat. Oleh karena itu, terbitnya PERPPU tersebut akan menjadi landasan hukum yang lebih kuat dalam penerapan kebijakan di lapangan.

Menurut Zainal, analisis terhadap pembagian kewenangan telah diulas oleh peneliti dengan baik antara tugas pilihan, bagian kewenangan, dan sebagainya. Namun, meninjau relasi kewenangan pemerintah daerah dan pusat maka harus berhati – hati karena terdapat dua kewenangan yang berbeda antara atributif dan delegatif. Relasi yang timbul antara Presiden dan Menteri juga menjadi permasalahan tersendiri selama pandemi. Hal tersebut terjadi karena pelaksanaan atas aspek kewenangan yang masih kurang sesuai. Oleh karena itu, kendali koordinasi yang kuat oleh Presiden dan terbitnya landasan hukum yang kuat akan menghindari terjadinya tumpang tindih aturan serta miskoordinasi tersebut.

Metode yang digunakan oleh tim peneliti yaitu Lawrence Friedman menurut pembahas sudah dianggap cukup tepat meskipun terkesan pragmatis dan tergolong aliran positivisme. Pembahas memberikan masukan apabila penelitian tersebut dapat dikaitkan dengan berbagai teori lalu dikaitkan  dengan masing – masing subsistem secara lebih mendalam maka pendekatan dalam penelitian ini akan lebih utuh dan semakin lengkap.

Catatan dari tim peneliti lain yakni dr. Darwito, Sp. B (K)., Onk. menambahkan bahwa penelitian berjalan dengan cukup baik dalam hal melihat dan membandingkan antara ideal dan fakta. Penelitian ini akan berusaha disusun untuk mencapai idealisme dan menangkap realitas yang bersifat dinamis sepanjang waktu. Tim peneliti juga berkomitmen secara penuh untuk selalu menjunjung tinggi obyektivitas sebagai peneliti.

Sesi Tanya Jawab

Pertanyaan yang muncul diantaranya mengenai regulasi seputar kebijakan insentif tenaga medis kaitannya dengan regulasi hukum tersebut.  Terkait pertanyaan tersebut, Bu Rimawati menanggapi bahwa hal tersebut dapat dianalisis melalui dasar hukum yang menimbulkan hubungan hukum berupa perjanjian sehingga muncul prestasi dan kontra prestasi dalam bentuk insentif bagi yang memberikan pelayanan kesehatan. Pertanyaan lain terkait Peraturan Undang – Undang tentang Pemerintah Daerah Nomor 32 Tahun 2004 dan telah direvisi menjadi UU Nomor 23 Tahun 2014 namun kewenangan pengendalian wabah justru direduksi. Pertanyaan tersebut ditanggapi oleh Zainal bahwa memang peraturan tersebut membingungkan karena menimbulkan tafsir harus mengikuti PP 23 Tahun 2014 namun ternyata aturan tidak ada atau kelembagaan yang berbeda. Pembahasan mengenai Surat Edaran yang diterbitkan Menteri soal Petunjuk Teknis namun tidak mengandung sanksi (lex imperfecta) memang hingga saat ini masih termasuk dalam ranah perdebatan dan kedepan tidak boleh ada produk hukum semacam itu dengan sifat pengaturan ke dalam bukan ke luar apalagi menjatuhkan sanksi.

Langkah Selanjutnya

Moderator yang sekaligus merupakan anggota tim peneliti menyampaikan bahwa pembahasan pada hari ini memberikan banyak sekali masukan terkait penelitian ke depan. Terdapat beragam perspektif yang diharapkan dapat semakin memperkaya dan mempertajam analisis penelitian serta menjadi bekal petunjuk yang sangat berharga bagi tim peneliti. Tahap berikutnya adalah Diseminasi Hasil Penelitian dengan topik “Perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dan residen dalam penanganan pasien COVID-19 di Indonesia”yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat. Reporter: Tri Aktariyani (PH/ PKMK)


VIDEO REKAMAN

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Diseminasi Hasil Penelitian “Tanggung Jawab Hukum Pemerintah Pusat & Daerah dalam Penanganan L… Reportase Zoom Meeting S […]

1
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x