HomePengambil KebijakanManajer Lembaga Kesehatan

Workshop Online Angkatan IV Aktivasi Hospital Disaster Plan berbasis Incident Command System dalam Menghadapi Pandemi COVID-19

Reportase Workshop Online
Angkatan IV

Aktivasi Hospital Disaster Plan berbasis Incident Command System
dalam Menghadapi Pandemi COVID-19

 Diselenggarakan oleh Badan PPSDM Kesehatan, Kementerian Kesehatan berkerjasama dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM


Selasa, 12 Mei 2020 – Workshop online dengan tema Hospital Disaster Plan berbasis Incident Command System (ICS) diselenggarakan oleh Badan PPSDM Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan FK- KMK (Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan) Universitas Gadjah Mada (UGM) yang meliputi 4 tahap yaitu:

  • Workshop HDP berbasis ICS dalam Menangani Pandemi COVID-19
  • Workshop Komunikasi dalam ICS Penanganan Pandemi COVID-19 di Rumah Sakit;
  • Workshop Logistik dalam ICS Penanganan Pandemi COVID-19 di Rumah Sakit;
  • Simulasi Manajemen Penanganan COVID-19 di Rumah Sakit.

Workshop ini dibuka oleh Kepala Pusat Pelatihan SDM Kesehatan Badan PPSDM Kesehatan Kemenkes RI, dr. Achmad Soebagio Tancarino, MARS dimana pihaknya  menyampaikan bahwa seluruh rumah sakit yang telah terakreditasi sudah pasti memiliki perencanaan penanggulangan bencana untuk Rumah Sakit atau Hospital Disaster Plan (HDP). Namun karena nilai untuk HDP hanya 20% saja, maka seringkali RS hanya sekedar membuat dokumen dan tidak sempat mensosialisasikannya ke seluruh staf dan tidak menjadikannya sebagai budaya yang harus dilakukan secara komprehensif. Hal ini juga yang menyebabkan Rumah Sakit kewalahan, karena belum menerapkan dokumen perencanaannya. Bagaimana analisis risiko rumah sakit apabila menghadapi lonjakan kasus, bagaimana berkomunikasi dengan dinas kesehatan untuk rujukan pasien, bagaimana menanamkan pemahaman pada seluruh staf bahwa mereka harus mengikuti alur yang telah dibuat saat aktivasi tim bencana, dan sebagainya. Oleh karena itu RS harus menghidupkan kembali HDP dan mensosialisasikan.

Bencana non alam seperti COVID-19 pada dasarnya memiliki konsep penanganan bencana yang hampir sama dengan bencana alam, tetapi memiliki permasalahan yang lebih kompleks dalam hal penanganannya karena virus tersebut sangat menular. RS harus membuat dokumen perencanaan untuk mengatasi bencana non alam agar situasi ini tidak menjadi lebih berat lagi. Peran RS sangat penting terutama bagi pasien COVID19 agar dapat memberikan pelayanan lebih canggih untuk kesembuhan pasien dan juga mempersiapkan apabila ada lonjakan pasien.

Adapun tujuan dari rangkaian workshop ini adalah: pertama, bagi rumah sakit yang satgas COVID-19/ ICSnya sudah berjalan akan dibantu mengevaluasi sistem pembagian tugas, alur komunikasi dan perencanaannya. Sedangkan rumah sakit yang belum membentuk satgas COVID-19 atau belum memiliki HDP dan ICS dapat segera membentuk. Kedua, rumah sakit diajak untuk mengaplikasikan alur komunikasi dari ICS-nya. Ketiga, berdasarkan skenario yang ada di wilayah kerja masing-masing rumah sakit, rumah sakit diajak untuk mengidentifikasi kebutuhan, merencanakan, dan mengkomunikasikan kebutuhan logistik sesuai kapasitasnya. Keempat. rumah sakit akan diajak untuk melakukan simulasi online berdasarkan perhitungan dan rencana operasi yang sudah disepakati Bersama. Badan PPSDM siap memfasilitasi pelatihan-pelatihan terkait covid dengan menggunakan media online.

Dok. PKMK FK-KMK UGM “Pemaparan materi HDP dalam Akreditasi SNARS”

Sesi kedua adalah sesi pemaparan materi HDP dalam Akreditasi SNARS (Menilai Kesiapan RS saat ini) yang disampaikan oleh dr. Bella Dona, M.Kes. Pada sesi ini ditegaskan lagi bahwa workshop ini bukan untuk melatih menyusun HDP melainkan mereview HDP dimana saat ini mengalami bencana non alam yang mengakibatkan terjadi pandemic, karena banyak pasien sehingga terjadi lonjakan pasien harapannya RS yang sudah mempunyai HDP bisa diaktifkan untuk menilai kesiapan RS.

Memahami regulasi manajemen disaster, memahami mengidentifikasi bencana internal dan eksternal, memahami self assessment ini sangat diperlukan untuk menilai kesiapan yang ada saat ini di RS. Dalam MFK 6 itu ada 4’S’ yang meliputi system, staff, stuff dan structure yang perlu disiapkan dalam kapasitas lonjakan. Ada sistem yang dibangun RS dalam HDP ini siapa yang memimpin (komando), siapa pelaku (operasional), apa yang diperlukan (perencanaan), logistic harus bisa dipenuhi dan keuangan.

Peran RS sebagai rujukan maupun non rujukan harus menyiapkan SOP yang dibutuhkan saat ini untuk membuat skenario baik itu bencana alam, bencana non alam (COVID- 19) maupun sosial. Menurut WHO, RS tidak punya kasus minimal menyiapkan fasilitas kesehatan COVID-19 dan mengatur sistem skrining dan triase. RS juga harus bisa melakukan self assessment dan ini harus dilakukan benar-benar untuk mengetahui kapasitas RS.

Kesimpulannya adalah rencana kesiapsiagaan RS COVID-19 efektif bila merujuk Peraturan Pemerintah, Kemenkes, Asosiasi RS, sesuai standar Akreditasi, sudah melatih staf terkait covid-19, mencegah penyebaran COVID-19 di dalam fasilitas, mengidentifikasi dan mengisolasi pasien dengan kemungkinan COVID-19 dan menginformasikan staf ruangan yang benar dan otoritas kesehatan masyarakat, perawatan untuk sejumlah pasien dengan COVID-19 yang dikonfirmasi atau suspek, menjadi bagian dari operasi rutin, berpotensi merawat lebih banyak pasien dalam konteks peningkatan wabah sambil mempertahankan perawatan yang memadai untuk pasien lain, memantau dan mengelola tenaga kesehatan yang mungkin terpapar COVID-19, berkomunikasi secara efektif dalam internal dan rencana untuk komunikasi eksternal yang sesuai terkait dengan COVID-19.

Sesi berikutnya adalah diskusi dan tanya jawab baik secara langsung maupun melalui chat zoom yang disampaikan oleh peserta dan dijawab secara langsung oleh Narasumber diantaranya :

  1. Ridma Irsyam Septiadi (RS Sari Mulia Banjarmasin):

Instalasi gawat darurat telah mempunyai ruang dekontaminasi sesuai dengan butir 1 – 6 pada maksud dan tujuan (D,O,W). Apakah ruang dekontaminasi ini masih berlaku?

Jawaban Narasumber:

Ruang dekontaminasi masih dipakai karena termasuk dalam Hazard , tetapi khusus untuk COVID-19 belum masuk dalam akreditasi SNARS.  Sebaiknya konsentrasi bagaimana menangani COVID-19 secara terencana dan tertulis. Hal ini dapat dijadikan untuk penilaian akreditasi yang akan datang

  1. Eko Harsono, S.Kep (RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Lampung):

Di IGD RSUD Dr. H. Abdul Moeloek lampung dan ruang isolasinya harus melewati ruang-ruang yang lain, saat ini dibuat alur tersendiri untuk COVID-19, apakah dibenarkan?

Jawaban Narasumber:

Memang harus dibedakan jalur UGD untuk pasien umum dan jalur UGD khusus untuk pasien COVID-19 dimana hal tersebut untuk meminimalisir transmisi.

  1. Resi Lystianto Putra Perdana (RSNU Jombang):

Apakah diperlukan ruang triase khusus airbone di UGD, melihat pasien corona bisa berubah sifatnya dari droplet ke aerosol, dimana ruang airbone dikhususkan apabila pasien mau direncanakan tindakan yang beresiko menimbulkan Aerosol?

Jawaban Narasumber:

Melakukan prosedur triase untuk menentukan apakah pasien akan diarahkan ke UGD umum atau UGD khusus COVID-19. Untuk petugas sendiri sudah menggunakan APD. UGD umum / biasa menggunakan APD level 1, Triase  menggunakan APD level 2, untuk UGD COVID-19 menggunakan APD level 3 atau 4.

  1. Nur Iffah (RSI Pati):

Apakah tim HDP ini harus dibuat baku untuk 3 macam bencana ataukah disiapkan untuk masing2 jenis bencana? kemudian untuk signasi merah, kuning, hijau berlaku juga untuk COVID-19 sedangkan RS tidak memiliki IGD khusus COVID-19? Untuk ruang dekontaminasi COVID-19 apakah harus dibuat khusus untuk mendisinfeksi pasien ODP/OTG/PDP? Terakhir, apakah ruang triase khusus covid boleh dilakukan diluar ruang IGD dengan design Udara terbuka?

Jawaban Narasumber:

Di RS, HDP hanya ada 1 tim besar tetapi untuk operasionalnya dapat dibagi tim – tim kecil untuk mengatasi bencana (terutama apabila ada 2 kejadian bencana yang terjadi bersamaan). RS harus memiliki networking, maka apabila ada bencana dan tidak dapat diatasi sendiri oleh RS, maka dapat meminta bantuan SDM dari instansi di luar RS. Hal tersebut juga dapat dipersiapkan sebelum terjadinya bencana.

  1. Anggi setiawan (RSUM Metro Lampung):

Saat ini banyak pasien yang berbohong dengan riwayat penyakitnya. RS sudah menyiapkan ruang dekontaminasi dan triase sendiri untuk curiga covid hanya saja terkendala banyak pasien yang lolos masuk ke UGD/triase umum. Bagaimana cara skrining yang tepat agar meminimal kan pasien-pasien curiga covid tidak tembus ke ruang triase umum dengan minimnya SDM?

Jawaban Narasumber:

Skrining terhadap pasien sudah dilakukan diawal dengan cek lab (darah lengkap, thorax, lebih baik lagi rapid test), sehingga harapannya pasien dapat diputuskan apakah akan ditempatkan di UGD umum atau UGD Covid-19.  Demikian juga di poli umum, sebaiknya dilakukan skrining yang lebih tegas terhadap semua pasien yang berobat. Untuk mencegahnya, dilakukan skrining awal yang lebih tegas. Apabila dimungkinkan diberikan tambahan form yang di tandatangani oleh pasien terkait kejujuran yang dapat diberikan sanksi apabila melanggar.

  1. Gede Wardana (Bapelkes Bali):Apa beda HDP dengan BCP (Bussines Continuity Plan) ,atau HDP bagian dari BCP?
    Jawaban Narasumber:
    BCP adalah bagian dari HDP dan hal tersebut dibuat setelah masuk recovery dimana kurva penyebaran penyakit sudah landai.

    Dok. PKMK FK-KMK UGM “Sesi diskusi dengan RSUD Haji Makassar”

  2. Sahruna Majid, S.Kep (RSUD haji Makassar):

Bagaimana dengan mitigasi bencana, Kita terlalu lengah sehingga tidak preparedness. Misalnya RS sebagai penyangga, Sebagian besar pasien yang datang adalah pasien umum. Apabila Ada 1 pasien yg OTG, hasil testnya 5 hari kemudian. Antisipasi apa yang harus dilakukan ?

Jawaban Narasumber:

Pada saat presiden sudah menyatakan darurat covid pada pertengahan Februari kemudian kasus Covid-19 pertama terjadi awal Maret, seharusnya kita sudah proses preparedness. Persiapan sebelum tanggap darurat adalah Budaya HDP. Apabila sudah memiliki HDP, begitu mendengar ada kasus, maka sdh mulai diaktifkan tim HDP. RS yang bukan RS rujukan  mengatur sistem skrining dan triase. Apabila di RS ada OTG yang lolos, baru ketahuan 5 hari kemudian, maka harus di lakukang tracing dan di karantina selama 14 hari.

Kegiatan Sesi Workshop Aktivasi Hospital Disaster Plan berbasis Incident Command System dalam Menghadapi Pandemi COVID-19 ditutup oleh moderator dengan mengingatkan kepada semua peserta untuk menyelesaikan tugas yang harus dikumpulkan maksimal jam 15.00 WIB pada hari ini dimana besok akan dibahas oleh narasumber dan fasilitator.

Materi dan Video Rekaman dapat diakses di: http://bencana-kesehatan.net/


Reporter:

  1. Indrawati Wurdianing
  2. Ajeng Choirin

Bapelkes Semarang

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x